Saturday, May 4, 2013

Welcome to Namibia

Akhirnya tiba juga ke Windhoek, ibukota Namibia, kota yang berpenduduk cuma sekitar 330.000 jiwa. Dibandingkan dengan Jakarta sangat jauh keadaannya. Pertama kali mendarat di Hoseo Kutako sebetulnya agak-agak miris, maklum dari udara cuma terlihat lembah dan bukit-bukit yang gundul yang tidak jelas mau dibawa terbang dan mendarat ke mana saya ini.

Sejak dari Bangkok ke Johannesburg (short: Joburg) sudah kelihatan kalau mayoritas yang naik pesawat Thai Airways itu mayoritas kulit putih. Saya kurang yakin apakah karena yang mampu bepergian itu cuma orang-orang kulit putih atau karena memang mereka lagi melancong ke Asia Tenggara, apalagi Bangkok sebagai tujuan wisata utama.

Berangkat dari Suvarnabhumi tengah malam atau sekitar jam 01.30 dini hari membuat nunggu departure pesawat cukup lama, namun perjalanan berkisar 10 jam lebih akhirnya nyampai ke Joburg sekitar jam 07.30 pagi atau mundur 5 jam dari waktu keberangkatan di Bangkok. Transit 2 jam akhirnya saya dapat melanjutkan perjalanan ke Windhoek.

Orang item Afrika Selatan bilang Windhoek dengan logat yang kental /WINDHUK/ mereka bilang itu adalah Bahasa Afrikaans, maklum biasanya kita lebih suka menyebut sok ke Inggris-Inggrisan dengan /wind-hoke/ saya gemas karena dulu sebelum berangkat suka di olok-olok sama teman-teman di kantor saya bekerja dulu dengan menyebut /WINDHUK/ seperti kata /mblendhuk/ saja dalam bahasa Jawa yang kadang membuat saya seperti dicemoohkon. Well, hasilnya ternyata teman saya tidak salah, memang benar nyebutnya begitu.

Dalam perjalanan dari Joburg ke Windhoek cukup ramai, pesawat rasanya sempit karena orang-orangnya serasa besar-besar dan mayoritas tetap kulit putih, maklum saya membaca bahwa orang-orang di Windhoek itu banyak juga kulit putih yang mendominasi bisnis di Windhoek, dan meraka orang-orang keturunan Jerman, karena jaman kolonoial dulu, Namibia merupakan jajahan Jerman sebelum diambil alih oleh Inggris dengan Afrika Selatan.



Dalam perjalanan sebetulnya tidak lapar lapar amat, karena menjelang pagi sampai di Joburg dari Bangkok selama dua kali sudah mendapat makan, tapi penerbangan pendek selama 2 jam dari Joburg ke Windhoek dengan menggunakan South African Airways (SA) masih saja mendapat makan. Pramugari tidak hanya berkulit hitam tetapi juga putih. Mengingatkan jaman Aphartheid di Afrika Selatan karena ada gap yang cukup tinggi waktu itu antara orang-orang putih dan item. Kulit putih banyak yang merupakan keturunan orang-orang Belanda yang bercokol di Semenanjung Harapan (Cape of Good Hope) dikenal juga dengan sebutuan orang-orang Boer dan mereka pada umumnya berkulit kemerah-merahan. Penduduk asli tentu saja kulit hitam namun juga terdapat beberapa komunitas yang disebut dengan Cape Malay mengingat jaman penjajahan Belanda di Indonesia (dulu dikenal dengan East Indies) banyak memaksa bangsa kita untuk dibawa dengan kapan VOC menjadi budak dan hingga sekarang keturunan-keturunannya masih bercokol sebagian di Afrika Selatan menjadi Cape Malay, sebutan orang-orang keturunan Melayu (maksudnya orang-orang Indonesia seperti dari Bugis, Jawa dan lain-lain yang beragama Islam) bercokol di Semenanjung Harapan (Cape of Good Hope). Disamping dari tanah Melayu (East Indies) juga terdapat bangsa-bangsa lain seperti India, Madagaskar dan beberapa bangsa lainnya selain dibawa orang Inggris juga orang-orang Portugis.



Well, kembali ke persoalan penerbangan, dengan selamat setelah kurang lebih 2 jam akhirnya mendarat juga ke Hoseo Kutako, nama Bandara Internasional di Windhoek. Bandara cukup kecil, sama dengan O.R tambo, nama Bandara Internasional di Joburg, bandara ini juga tidak dilengkapi dengan thrunk atau belalai sewaktu boarding dan landingnya. Bahkan untuk transit saja di O.R. Tambo International Airport saja masih perlu untuk meminta visa transit meskipun memakan waktu proses 203 hari. Di Airport  Kecil memang airport di Windhoek, namun keadaannya lebih bagus aslinya daripada yang saya lihat di google.

Setelah mengurus bagasi dan imigrasi, tibalah akhirnya berangkat menuju ke Windhoek, menurut teman0teman dari KBRI yang menjemput sekitar 45 km. Luar biasa saya pikir, selama ini kita selalu mendiskreditkan benua hitam Afrika. Setap ketemu sama teman-teman dan saya utarakan bahwa saya akan berangkat tugas ke Windhoek, mereka tidak tahu dimana itu, kemudian saya menjawab Namibia, Namibia diman itu tanyateman-teman saya, akhirnya begitu menyebut nama AFRIKA giliran mereka pesimis dan terkesan why should be in Africa? Mereka pikir Afrika itu identik dengan:
1. Berkulit hitam
2. Hutan Belantara karena banyak binatang-binatang Buas
3. Keleleran dan kelaparan kaya orang Ethiopia
4. Gurun pasir yang luas
5. Keterbelakangan

Awalnya saya memang pesimis, kenapa saya harus ke Windhoek yang nota bene adalah di wilayah benua hitam? agak pesimis memang. Seornag teman mendiskripsikan bahwa tempat itu tidaklah seburuk yang dipikirkan orang-orang kebanyakan. Teman saya bilang bahwa tempatnya adalah blue sky yang terus terang saya sangat merindukannya karena susah bagi saya untuk menemukan blue sky apalagi di Jakarta yang kotanya sangat berpolusi. Teman saya juga mendiskripsikan bahwa selain itu juga berudara bersih, bagus buat terapi kesehatan saya yang terus terang sudah mulai mengganggu.

Begitulah akhirnya saya melihat dengan seksama di internet, mbah google, gambar-gambar tentang kota Windhoek maupun video-video. Aklhirnya saya berkesimpulan bahwa Namibia merupakan salah satu tantangan buat saya. Saya sudah pernah melanglang buana dari Asia Tenggara, Eropa Barat dna Tengah, Amerika Utara, kapan lagi ke Afrika mumpung ada kesempatan. Biarah Italia dengan segala keindahan alam, kelezatan makanannya, kopinya dan shoppingnya sangan dominan, saya berpikir tentang lagunya Shakirah yang menyebutkan Waka Waka it's time for Africa.



Berangkatlah akhirnya dari Airport menuju ke kota Windhoek, sepeti yang dijelaskan rekan dari KBRI kalau letak bandara internasional itu 45 km dari pusat kota. Wah jauh, tapi keadaan jauh berbeda dengan Jakarta. Meskipun dekat tapi naudzubillah mindalik Jakarta itu macet, Sabtu aja macet kadang dibikin stress kalau memikirnya brengseknya kemacetan di Jakarta yang kadang untuk pergi/pulang dari Jakarta ke Serpong yang jaraknya naya sekitar 24-28 km saja memerlukan waktu 2 jam kadang lebih apalagi kalau hujan dan ada demo.

Jalanan dari airport ke Windhoek, sangat mulus dan rapi. Iri saya, berpikir bahwa Jakarta adalah sangat sophisticated, ternyata yang saya lihat jalan B6 ini sangat mulus dan rapi. Terlebih-lebih lagi medan yang saya lewati sangat fantastis. Meskipun gunungnya gundul (sorry maaf saya kalau nyebut seperti kalau kepala sehabis dicukur terus tumbuh) atau mirip rambut orang-orang Afrika yang tumbuh spot by spot.



Memang dengan penduduk yang hanya 330.000 jiwa saya berpikir Kota Kudus aja penduudknya 500.000 jiwa, wah pasti sepi lah. Memang sepi seh jalanan, tapi pemandangan sangat menantang, karena memang landscape yang berbeda dengan Indonesia. Apalagi ada 5 macam ketertarikan mengenai landscape di Namibia, yang pertama adalah dessert (gurun kalahari), semi dessert, sand dunes    ( gunung pasir warna emas di pesisir Coastal Atlantic, Savannnah dan Grand Canyon. Koon Grand Canyon di Namibia ini adalah terbesar kedua setelah Amerika Serikat.





Tanah yang gundul dan gersang di Afrika ini menyebabkan udara di Namibia meskipun dibilang musim diningin karena tidak ada awan yang menggantung dan cuaca cukup cerah menyebabkan panas dengan temperatur yang cukup tinggi (sekitar 27-33 derajat Celcius), sedangkan kalau malam mendadak drop hingga 6-8 derajat Celcius). Saya heran cuma anehnya rumah-rumah disini beratap pendek bahkan di daerah kumuh seperti Katutura mereka cuma beratapkan seng.

2 comments:

  1. Untuk biaya hidup di windhoek bagaimana? Khususnya utk pendidikan anak dan kesehatan?

    ReplyDelete
  2. Biaya hidup sehari hari cukup murah barang semua lengkap dipasok dari Afrika Selatan, biaya pendidikan agak mahal tapi tergantung sekolahnya sebagai contoh Windhoek International School meskipun termahal di Windhoek karena kurikulum internasional tapi dibandingkan dengan negara-negara Afrika lain termasuk yang paling murah. Kesehatan sangat baik sekali banyak dokter kulit putih lulusan UNISA dan Stellenbosch dari Cape Town dengan pengalaman yang bagus sebagai contoh saya menjalani operasi total hip replacement di Mediclinic Windhoek

    ReplyDelete

MapLoco


Visitor Map